Coworking space belakangan menjadi idola baru bagi para
mobile worker. Ruang kerja tidak tetap yang mengimbangi karakter para pekerja yang selalu bergerak itupun makin digemari kala
sharing economy berkembang seiring pergerakan
teknologi digital.

Pixabay.com[/caption]
Sharing economy yang pada dasarnya adalah berbagi pakai sumber daya dan fisik tak ayal merupakan salah satu
business model paling
match dengan keberadaan arus digitalisasi. Segala aktifitas terhubung lewat
internet. Kecepatan arus data atau informasi tak lagi harus menuntut seseorang menetap pada satu tempat bekerja. Dimana saja dan kapan saja.
Pegiat
start-up dalam industri digital yang terus menjamur juga menjadi pendorong pertumbuhan
coworking space. Terutama di kota-kota besar dengan kekentalan budaya urban. Ruang kerja bersama para
mobile worker ataupun mereka yang membangun bisnis ber-
platform digital dengan pemberdayaan modal yang tidak melimpah tak ayal merupakan salah satu pemicu tingginya kebutuhan
co-working space.
Karakter
coworking space ini  lebih terbuka dan santai membuat para penggunanya lebih rileks dalam berkarya. Apalagi mengingat faktor modal, bagi
entrepreneur pendatang baru yang tergolong berat untuk menyewa sebuah kantor, ruang kerja genre baru ini adalah solusi yang melegakan.
Cikal bakal
coworking space sebenarnya sudah nampak pada tahun 1995 di Jerman. Sebuah organisasi bernama C-Base yang mempunyai misi meningkatkan kemampuan berkomputer bagi para
member dan juga publik. Didirikannya sebuah
basecamp dengan nama C-Base Station berkonsep
hackerspace menjadi embrio dari keberadaannya higga saat ini. Dapat dipergunakan bersama maupun individu ataupun sebuah kelompok bertujuan sama.
Adalah Bernard DeKoven yang sering disapa Brian di tahun 1999 yang melahirkan istilah
coworking. Brian mendefenisikan
co-working sebagai cara berkerja kolaboratif dengan kordinasi lewat teknologi. Prinsip kesetaraan pada konsep yang dicetuskannya ini memang berbeda dengan kantor-kantor
tradisional. Semua yang berkumpul dalam satu tempat menjadi setara posisinya, atau bisa dikatakan tidak ada hirarki yang jelas.
Lalu di Wina, Austria pada tahun 2002 berdirilah sebuah
coworking space dengan titel Schraubenfabrik atau dalam bahasa inggris dinamakan Screw Factory.
Spot kerja yang didirikan yaitu Stefan Leitner-Sidl dan Michael PÃ ini menjadi tempat meriungnya komunitas
entrepreneur. Kemudian melihat tren positif keberadaan tempat itu, mereka mendirikan juga dua tempat serupa, yaitu Hutfabrik pada 2004 dan Rochuspark pada 2007.
Tapi untuk tempat yang benar-benar mengklaim diri dengan nama
coworking space justru lahir pada bulan Agustus 2005 di San Francisco. Brad Neuberg yang seorang
programer mendirikan Spiral Muse yang awalnya hanya menyediakan 8 meja dan hanya buka di saat
weekend, Sabtu dan Minggu. Selain tempat bekerja, tempat ini pun menyediakan santapan makan siang, meditasi dan berspeda bersama.
Dan satu tahun kemudian hadirlah di kawasan yang sama, di San Francisco,
coworking space yang dibuka sehari penuh dan pada hari kerja, yaitu The Hat Factory. Eksitensinya bahkan dianggap mempunyai nilai sejarah bagi para
start-up digital di area tersebut.
Wabah tempat kerja gaya baru ini pun menjalar ke seluruh dunia, teutama di negara-negara dengan pertumbuhan gaya hidup digital. Termauk di Indonesia yang makin menjamur di kota-kota besar terutama kota-kota dengan lalu lintas kerja yang padat.** MALEÂ
(densitycoworking.com, deskmag.com, codinginparadise.org)